Jumat, 11 Januari 2013

THREE MORE DAYS : Dua Suara dalam Sosok “SAYA”

THREE MORE DAYS : Dua Suara dalam Sosok “SAYA”
Oleh :
Ayu Wibowo Handayani
121111076

/1/
Sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat di lihat pada ilmu pengetahuan lain ; obyek kajiannya yang tidak menentu. Sastra sendiri berarti tulisan yang indah, jadi dapat di simpulkan, ilmu sastra adalah ilmu yang mengkaji tulisan-tulisan yang indah, baik teks prosa, puisi, drama, dan naskah-naskah kuno. Dengan membaca karya sastra, maka akan ada sesuatu yang kita dapati, semisal pencerahan. Karena, karya sastra itu sendiri adalah tulisan yang indah, tentunya dalam tulisan yang indah tersebut mengandung nilai bermutu yang di dalamnya mengandung makna. Mengingat kembali satu jargon sastra ‘dulce et utile (menghibur sekaligus mendidik, semoga tidak salah). Sesuai dengan jargon sastra tersebut, makna yang di dapat dari karya sastra itu sendiri pastilah mengandung makna mendidik, yang di dalam sebuah karya sastra itu sendiri mempunyai arti terselubung. Berdasarkan pengalaman pribadi, karya sastra memang karya yang bermutu, hasil dari imajinasi pengarang yang di tuangkan dalam bentuk pelbagai gaya tulisan yang indah, bahasa yang bila anak muda bilang “wow” karena butuh energi ekstra untuk mencerna tulisan bermutu yang ndakik-ndakik tersebut, bahasanya yang terbilang susah memang mencerdaskan, sebab sedikit-sedikit harus membuka kamus. Mungkin, menurut saya, inilah yang menyenangkan dari sastra selain estetikanya, menguak apa yang disebut ndakik-ndakik tersebut dengan menggunakan berbagai teori dan penafsiran. Menemukan arti implisit dan eksplisit yang terkandung dalam teks, sekaligus menemukan apa yang di sebut “mendidik” dari jargon sastra tersebut.
            Kali ini, dalam cerpen Three More Days karya Djenar Maesa Ayu, penulis berusaha membredel isi dari cerpen ini. Cerpen Djenar ini memiliki keunikan, yaitu pada ceritanya, bercerita tentang pergolakan batin dan kegalauan yang di alami oleh dua orang yang tersaji pada sosok yang sama yaitu “saya”. Bila dibaca sekilas, kita akan menangkap bahwa tokoh pada cerpen ini hanya ada satu orang, tapi bila di baca berkali-kali maka akan didapati kebingungan. Menurut pembacan saya sendiri, dalam cerpen ini hanya ada dua suara,yaitu si laki-laki dan perempuan, tapi selain dua suara ini, juga ada suara lain, yaitu si laki-laki yang menceritakan perempuan, dan si perempuan yang bercerita mengenai laki-laki. Tapi yang paling dominan adalah dua suara, si lelaki dan si perempuan. Terdapat unsur-unsur polifonik dalam cerpen ini, maka dari iu, penlis berusaha mencari dan menggali unsure-unsur yang ada di dalamnya.

/2/
Dalam cerpen Three More Days ini, penulis berusaha menggali unsur-unsur polifonik yang ada didalamnya. Dalam cerpen ini, terlihat keunikan-keunikan, terutama pada penceritannya dan tokohnya. Di sini seolah sosok pengarang sebagai penulis dan pencerita tidak terlit, justru seolah-olah cerita ini hidup sendiri, bercerita sendiri. Membaca cerpen ini, membuat bingung, karena tokohnya yang tidak jelas, dan harus membacanya berkali-kali untuk memahami.

/3/
Sastra tidak berhubungan dengan wawasan dan ilmu pengetahuan, tetapi dengan kepercayaan, simpati, dan harapan kepada kehidupan. Sastra adalah disiplin yang membebaskan. Yang membedakan sebuah buku filsafat atau sebuah buku ilmiah dari sebuah karya sastra ialah bahwa mengulang-ulang membaca karya ilmiah yang sama dapat dengan cepat menimbulkan kebosanan dan cepat mendatangkan rasa jenuh, sedangkan mengulang membaca sebuah karya sastra selalu menimbulkan kesegaran baru. Kesegaran baru ini terlihat pada karya sastra Djenar Maesa Ayu pada kumpulan cerpennya “Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek”. Dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Three More Days”, untuk memahami betul cerpen ini, di perlukan waktu tambahan, barang sebentar, mencerna rangkaian-rangkaian kata, yang bila di baca sekilas terlihat sama, tapi bila lebih di cermati ada banyak hal yang berbeda. Dalam pembacaan saya, cerpen Three More Days ini terkesan kacau dan tidak teratur. Cerpen ini hanya memiliki satu sudut pandang yaitu “saya”, tapi “saya” dalam cerpen ini tidak hanya satu suara, ada dua suara. Jadi dalam cerpen ini ada sosok “saya” yang berjumlah dua. Dan masing-masing sosok “saya” dalam cerpen ini mempunyai cerita tersendiri, menyuarakan cerita sendiri. Cerita masing-masing sosok “saya” dalam cerpen ini saling bertautan antara satu dengan yang lainnya. Kesan yang di timbulkan dalam cerpen ini ialah kedua sosok “saya” tersebut saling berdialog, dan pada dialognya menunjukkan ke-eksistensiannya masing-masing. Perbedaan suara pada cerpen Three More Days ini, dapat di amati dalam cerita berikut.
·         Laut selalu membuat saya tidak ingin pulang. Dengan atau tanpa orang lain. Dengan atau tanpa kekasih. Dengan atau tanpa kepentingan. Dengan atau tanpa alasan.

Saya benar-benar tidak ingin pulang sekarang. Apalagi saya tidak sendirian. Saya bersama laki-laki yang juga tidak ingin pulang. Tetapi kami harus pulang. Pulang meninggalkan laut malam yang bergerak tenang. Pulang meninggalkan perbincangan yang kami lakukan sambil duduk di atas karang. Pulang meninggalkan peluk dan ciuman dibawah kerlingan malu-malu bintang.
      Tapi kami benar-benar tidak ingin pulang sekarang. Pulang kepada beku pendingin ruangan yang meranggas seprai ranjang. Pulang kepada tubuh yang tidak sudi lagi telanjang. Pulang kepada cinta yang akan segera terhalang. Pulang kepada rindu yang terlarang.
      Apakah yang sedang mengikat perasaan kami sekarang. Laut, atau cinta ? Tapi masing-masing kami sudah terikat dalam mahligai perkawinan. Lantas kenapa sekarang kami ada di sini. Untuk laut, atau cinta?


·         Saya merasa harus pulang. Ponsel saya sudah berbunyi berulang-ulang. Saya jemu dengan perang mulut, perang batin, perang tangan. Saya jemu dengan pertanyan-pertanyaan yang hanya akan terjawab dengan ketidakjujuran. Saya muak! Tau gak kamu? Saya muak! Tapi saya memang pecundang. Saya tidak berani melepas rasa aman. Saya tidak berani mengatakan kebenaran. Saya takut kehilangan. Saya takut dicap tidak tahu diri. Saya takut dicap jahat. Saya takut dicap tidak bertanggung jawab. Saya takut dicap tidak mensyukuri rahmat Tuhan. Saya takut. Tau gak kamu? Saya takut!


·         Saya tidak akan takut kalau suami saya bajingan. Saya tidak akan takut kalau suami saya juga melakukan kesalahan. Saya tidak akan takut kalu suami saya mampu meninggalkan. Saya tidak akan takut kalau suami saya tidak akan terlukai perasaan. Kenapa ia bukan bajingan? Kenapa ia tidak melakukan kesalahan. Kenapa ia tidak mampu meninggalkan? Kenapa ia akan terluka jika saya memberitahu kebenaran? Kenapa, Setan! Kenapa saya tidak bisa lebih mencintai manusia yang bukan bajingan?!


·         Tau gak kamu? Saya mau mabuk! Saya tak ingin sadar. Tak ingin ingat. Tapi ponsel itu masih berdering. Pesan-pesan tertulis semakin banyak tersimpan. Tidak sekadar menanyakan. Tidak sekadar pemberitahuan. Tapi juga amarah. Tapi juga sumpah serapah. Tentang tanggung jawab yang tak dilaksanakan. Tentang cinta sejati yang dibalas dengan tahi ayam. Tentang ikrar yang dilanggar. Tentang apa pun, selain cinta. Tentang apa pun yang berhubungan dengan keharusan.

            Dari hal di atas, dapat diketahui bahwa cerpen “Three More Days” ini bercerita tentang pergolakan batin dan kegalauan yang di alami oleh dua orang yang tersaji pada sosok yang sama yaitu “saya”. Bila dibaca sekilas, kita akan menangkap bahwa tokoh pada cerpen ini hanya ada satu orang, tapi bila di baca berkali-kali maka akan didapati kebingungan. Menurut pembacan saya sendiri, dalam cerpen ini hanya ada dua suara,yaitu si laki-laki dan perempuan, tapi selain dua suara ini, juga ada suara lain, yaitu si laki-laki yang menceritakan perempuan, dan si perempuan yang bercerita mengenai laki-laki. Tapi yang paling dominan adalah dua suara, si lelaki dan si perempuan.
Dalam cerita ini ada 2 orang yang saling mencintai, seorang perempuan dan seorang laki-laki, tapi mereka telah mempunyai pasangan masing-masing dan telah terikat dalam pernikahan. Namun, mereka melakukan sebuah perlawanan bahwa saling cinta tak berarti harus menikah. Mereka berdua bertemu dengan sembunyi-sembunyi tanpa di ketahui suami atau istri mereka. Meluapkan rasa cinta dalam hubungan tanpa ikatan. Mereka ingin selalu bersama, namun hal ini tidak bisa, karena mereka telah mempunyai ikatan dengan yang lain.
Di dalam cerpen “Three More Days”, setiap tokoh mempunyai cerita tentang keinginannya, dan bisa di katakan bahwa kedua tokoh dalam cerpen ini sedang curhat perihal diri mereka sendiri, apa yang mereka alami kepada pembaca, pun juga tak sepenuhnya curhat. Disini mereka (kedua tokoh “saya”) juga mengajak pembaca untuk berkomunikasi dengan mereka. Pembaca di ajak masuk dalam pergolakan batin dan kegalauan yang di alami oleh kedua tokoh “saya”, sehingga membuat pembaca menjadi campur aduk. Kedua tokoh “saya” pada cerpen “Three More Days” dapat dilihat pada penggalan cerita berikut.
1.      Sosok “saya” yang pertama dalam narasi dapat di amati sebagai berikut.
Laut selalu membuat saya tidak ingin pulang. Dengan atau tanpa orang lain. Dengan atau tanpa kekasih. Dengan atau tanpa kepentingan. Dengan atau tanpa alasan.

Saya benar-benar tidak ingin pulang sekarang. Apalagi saya tidak sendirian. Saya bersama laki-laki yang juga tidak ingin pulang. Tetapi kami harus pulang. Pulang meninggalkan laut malam yang bergerak tenang. Pulang meninggalkan perbincangan yang kami lakukan sambil duduk di atas karang
Tetapi kami benar-benar tidak ingin pulang sekarang. Pulang kepada beku pendingin ruangan yang meranggas seprai ranjang. Pulang kepada tubuh yang tidak sudi lagi telanjang. Pulang kepada cinta yang akan segera terhalang. Pulang kepada rindu yang terlarang.
Apakah yang sedang mengikat perasaan kami sekarang. Laut, atau cinta ? tetapi masing-masing kami sudah terikat dalam mahligai perkawinan

Dapat kita amati dari penggalan cerita di atas bahwa sosok “saya” adalah seorang perempuan. Sosok “saya” yang dalam suaranya bercerita bahwa dia sedang berada di laut bersama seorang lelaki. Mereka berdua ingin tetap berada di laut. Berdua. Tidak ingin pulang. Tapi mereka dalam kegalauan, bahwa mereka harus pulang. Sosok “saya” dan lelaki ini sudah mempunyai pasangan masing-masing. Dapat disimpulkan bahwa sosok “saya” di sini adalah seorang perempuan yang telah mempunyai suami, yang mempunyi hubungan gelap dengan lelaki lain yang telah beristri.

2.      Sosok “saya” yang kedua dapat kita amati pada penggalan cerita berikut.
Saya merasa harus pulang. Ponsel saya sudah berbunyi berulang-ulang. Saya jemu dengan perang mulut, perang batin, perang tangan. Saya jemu dengan pertanyan-pertanyaan yang hanya akan terjawab dengan ketidakjujuran. Saya muak! Tau gak kamu? Saya muak! Tapi saya memang pecundang. Saya tidak berani melepas rasa aman. Saya tidak berani mengatakan kebenaran. Saya takut kehilangan. Saya takut dicap tidak tahu diri. Saya takut dicap jahat. Saya takut dicap tidak bertanggung jawab. Saya takut dicap tidak mensyukuri rahmat Tuhan. Saya takut. Tau gak kamu? Saya takut!

             Dari penggalan ceria di atas, dapat diketahui bahwa sosok “saya” adalah seorang laki-laki. Sosok ini menceritakan tentang kegalauan hatinya, dia ingin segera pulang karena ponselnya yang terus berbunyi di telpon istrinya. Di satu sisi ia ingin lari dari istrinya, ingin bersama selingkuhannya, disisi lain, dia takut, karena dia telah mempunyai tanggung jawab . penggalan cerita diatas menegaskan yang berbicara adalah seorang laki-laki, yang bisa dikatakan “pecundang” dan “penakut”.






Three More Days
Deskripsi tokoh “Saya”
Rounded Rectangle: SAYA 

1.      Sosok Saya Pertama adalah perempuan yang telah mempunyai suami tetapi dia berselingkuh dengan laki-laki yang menjadi sosok “saya” kedua

2.      Sosok Saya Kedua adalah seorang laki-laki yang sudah mempunyai istri, tapi berselingkuh dengan perempuan sebagai sosok “saya” yang pertama.  

Cerpen “Three More Days” ini bisa dikatakan masuk dalam prosa yang bergenre polifonik. Suara-suara tokoh dalam cerpen ini cenderung bebas, merdeka, mampu berdiri disamping, dan juga memberontak pada si pengarang.  Kebebasan yang ada pada cerpen ini tidak sekedar bebas. Pada sosok suara kedua tokoh “saya” dalam cerpen ini mempunyai kesadaran bebas tetapi dalam kebebasannya itu penuh dengan makna. Suara dan kesadaran dalam kedua sosok “saya” yang berbeda dalam cerpen ini memiliki kedudukan setara yang tergabung dalam kesatuan cerita dan pada saat yang sama, suara dan kesadaran itu mampu mempertahankan keterbatasannya. Di dalam cerpen ini, kedua tokoh “saya” yang berbeda, seolah-olah berbicara sesuai peran mereka dan suara pengarang terlepas, malah suara pengarang seperti tidak ada. Selain itu, antara tokoh “saya” yang satu dengan yang lain dalam alur cerita seperti sedang berdialog, mempunyai hubungan antar cerita sosok “saya” yang satu dengan sosok “saya” yang lainnya.
/4/
Cerpen “Three More Days” ini bisa dikatakan masuk dalam prosa yang bergenre polifonik. Suara-suara tokoh dalam cerpen ini cenderung bebas, merdeka, mampu berdiri disamping, dan juga memberontak pada si pengarang.  Kebebasan yang ada pada cerpen ini tidak sekedar bebas. Pada sosok suara kedua tokoh “saya” dalam cerpen ini mempunyai kesadaran bebas tetapi dalam kebebasannya itu penuh dengan makna. Suara dan kesadaran dalam kedua sosok “saya” yang berbeda dalam cerpen ini memiliki kedudukan setara yang tergabung dalam kesatuan cerita dan pada saat yang sama, suara dan kesadaran itu mampu mempertahankan keterbatasannya. Di dalam cerpen ini, kedua tokoh “saya” yang berbeda, seolah-olah berbicara sesuai peran mereka dan suara pengarang terlepas, malah suara pengarang seperti tidak ada. Selain itu, antara tokoh “saya” yang satu dengan yang lain dalam alur cerita seperti sedang berdialog, mempunyai hubungan antar cerita sosok “saya” yang satu dengan sosok “saya” yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar